Hidup Bukan Milik Kita Sendiri

Seorang anak balita (bersama orang tuanya) berkunjung ke rumah kerabatnya yang memiliki anak berusia balita juga. Pada awal pertemuan, kedua balita nampak baik-baik saja dan mereka memainkan mainan mereka masing-masing. Namun beberapa saat kemudian mereka mulai saling mendekat dan mencoba untuk mengambil mainan milik temannya. Pertengkaranpun terjadi, semua mempertahankan miliknya dan semua ingin memiliki mainan temannya.

Secara tidak sadar, kitapun sering mengalami pertengkaran di dalam diri. Kita menganggap bahwa hidup kita adalah milik kita sendiri dan tidak ada yang boleh menguasainya, termasuk Tuhan. Kita ingin hidup kita ini sepenuhnya ada dalam kendali kita dan hanya untuk kita sendiri.

Umat Israel memiliki tradisi membawa/menyerahkan anak kepada Allah. Hal ini juga dialami oleh Samuel, juga Tuhan Yesus. Tradisi ini mengingatkan bahwa setiap manusia pada dasarnya adalah kepunyaan Allah, Allah berkuasa sepenuhnya di dalam memberikan kehidupan dan pendidikan (melalui para imam, seperti yang dialami oleh Samuel). Hidup Samuel tidak hanya berhenti di momen penyerahan, namun bagaimana dia menyerahkan seluruh hidupnya untuk melayani Tuhan.

Selain pengalaman Samuel, kita juga bisa mengingat tentang Natanael di dalam Injil Yohanes. Digambarkan di sana bagaimana Natanael tumbuh dengan didikan yang baik. Yesus melihat Natanael di bawah pohon ara (di bawah pohon ara, biasanya orang Israel mendidik anak-anak mereka). Namun hidup Natanael tidak berhenti di situ. Natanael belajar tentang Firman Allah, dia juga mendengarkan ketika Andreas mengajaknya kepada Yesus. Natanael pun akhirnya pergi dan berjumpa dengan Tuhan Yesus.

Samuel dan Natanael menjadi pengingat bagi kita bahwa hidup kita adalah milik Allah dan harus kita kembalikan kepadaNya melalui hidup yang berbakti kepada-Nya.