Menanti Dalam Ketaatan

Di sebuah stasiun kereta api, dua orang sahabat bersama dengan banyak orang yang lain menanti kereta yang tak kunjung datang. Seorang dari mereka begitu gusar menanti kereta api yang tak kunjung datang. Berkali-kali dia mendatangi kantor petugas stasiun untuk mendapatkan kepastian datangnya kereta, namun petugas juga tidak bisa memberikan jawaban pasti kapan kereta akan datang.

Dalam kegelisahan itu, dia heran kepada sahabatnya yang justru nampak sangat santai. Sambil mendengarkan lagu, dia membuka laptop, dan mengerjakan beberapa hal yang bisa dikerjakan. Lalu sahabat yang gusar inipun bertanya; mengapa dia tidak marah kendati kereta tidak kunjung datang. Dia pun menjawab bahwa semua sudah ada yang mengatur, juga untuk kereta yang terlambat juga sudah ada yang mengatur, jadi tidak perlu kita menjadi begitu gusar dan ikut turut mengatur apa yang tidak kita ketahui.

Demikian juga dalam diri Maria. Ada dua kutub yang tarik menarik; apakah dia harus begitu cemasnya untuk menjalani ‘tugas’ dari Tuhan Allah kepadanya, ataukah dia cukup menjalani hidup dalam ketaatan? Maria sempat bingung dan terkejut sesaat ketika Malaikat Gabriel menemui dan membawa pesan kepadanya. Kendati Malaikat mengatakan kepadanya untuk tidak takut, dia tetap merasakan ketakutan. Namun, di dalam ketakutannya itu, Maria menetapkan pilihan untuk tidak menjadi gusar, takut, dan gentar.

Maria mengatakan: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (ayt.38). Maria mengaku diri sebagai hamba Tuhan (doulos, budak). Hal ini memperlihatkan isi hati Maria. Maria menempatkan diri di bawah otoritas Tuhan. Ia menerima kehendak dan perintah Tuhan, dan di saat yang sama Maria menempatkan diri dalam pemeliharaan-Nya.

Bagaimana dengan kita? Apakah dalam kepastian hidup kita terus menerus dicekam ketakutan, kegelisahan, dan kemarahan? Ataukah kita menyerahkan sepenuhnya otoritas di tangan Tuhan dan menyerahkan diri sepenuhnya dalam perlindungan-Nya? Tuhan menolong kita.