Melatih Cinta

Sebagai orang yang lahir dan besar di kampung, saya menghidupi pemamahan bahwa pagar rumah terbaik yang kita miliki adalah tetangga kita. Pemahaman ini dihidupi dengan cara menjaga satu dengan yang lain. Tidak jarang orang-orang di kampung menitipkan kunci rumah, anak, hewan peliharaan, atau tanaman peliharaan kepada tetangga yang terdekat saat si pemilik rumah bepergian. Namun kini budaya hidup bermasyarakat sedang berubah. Rasa curiga pada sesama menebal, dan kepercayaan memudar.

Dalam perikop Minggu ini, kita bisa menemukan kalimat ‘Kasihilah sesamamu manusia’. Kata sesama ini berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘tetangga’. Sebuah hal yang sangat berbeda dengan pemahaman orang-orang Yahudi pada saat itu. Bagi orang Yahudi, sesama mereka adalah orang yang satu bangsa, agama, dan tradisi. Namun Tuhan memberikan sebuah penekanan bahwa sesama kita adalah orang yang terdekat dengan kita, tetangga kita.

Unik sekali pandangan Tuhan Yesus. Dia menerobos pemahaman orang pada kala itu yang begitu sempit pemahamannya. Tuhan Yesus ingin mengatakan bahwa siapapun mereka yang ada di sekitar kita, di sekeliling kita, dia adalah sesama kita. Tidak perlu jaris sebangsa (sesuku), seagama, atau setradisi, namun semua manusia yang ada di dekat kita adalah sesama kita.

Di kala kita berada di dalam budaya ‘curiga’ yang begitu tinggi, Tuhan memanggil kita untuk belajar percaya. Untuk bisa mengasihi dan mencintai, kita harus mulai dengan mempercayai. Tuhan mengundang kita untuk bisa mempercayai sesama kita. Setelah mempercayai, kita juga diundang untuk mempercayakan diri kita. Dengan belajar percaya dan mempercayakan, maka cinta akan tumbuh.

Selamat belajar mencinta, dimulai dari keluarga menuju tetangga.