Keluarga Bagai Kebun Anggur
Berita harian digital, republika.co.id memaparkan bahwa pemerintah Argentina memperkirakan ada 350 ribu aborsi ilegal setiap tahun yang dapat membahayakan nyawa perempuan. Sementara itu kelompok hak asasi memperkirakan kasus aborsi ilegal di Argentina mencapai 500 ribu kasus per tahun. Hal yang lebih mencengangkan lagi adalah ribuan orang berkumpul termasuk juga sekelompok wanita mendesak agar pemerintah mau melegalkan praktik aborsi di Amerika Latin.
Berita yang tidak kalah mengejutkan adalah dengan terkuaknya praktik aborsi secara ilegal di DKI Jakarta. Jika dirata-rata, maka di satu tempat tersebut kira-kira 5-7 orang melakukan aborsi setiap hari. Sehingga dari bulan Januari 2019 hingga 10 April 2020 terdaftar pasien aborsi sebanyak 2.638 pasien. Sebuah kenyataan yang sungguh mengerikan. Nyawa seorang anak sungguh tidak mendapatkan penghargaan yang semestinya. Begitu banyak pasangan yang dengan mudahnya melakukan hubungan suami istri namun tidak mau bertanggungjawab sebagai orang tua.
Matius 21:33-46 sebagai landasan berpijak bagi kita untuk merenungkan tema ‘keluarga sebagai kebun anggur’ nampaknya menjadi sangat relevan disandingkan dengan realita yang terjadi pada masyarakat kita saat ini. Setiap bagian keluarga, secara khusus, orang tua seharusnya adalah para penjaga-penjaga kebun anggur. Mereka seharusnya menyadari bahwa mereka tidak memiliki apapun di dunia ini, mereka hanya bisa menjaga yang ‘Tuan’ mereka miliki sehingga merekapun bisa menikmati hasil dari kebun anggur tersebut.
Namun demikian, kita melihat betapa banyak manusia yang mengaku sebagai orang dewasa yang diberikan kepercayaan oleh Tuhan untuk ‘merawat kebun anggur’ justru memanfaatkan wewenang mereka untuk kepentingan mereka sendiri. Para muda yang diberikan karunia oleh Allah untuk mendapatkan anak justru menggugurkan anak yang dikandung. Orang tua dengan dasar ‘kasih kepada anak’ memarahi, membandingkan, dan tidak mengasihi anak-anak mereka dengan kasih yang tulus. Anak-anak hanya dijadikan produk pendongkrak popularitas mereka sendiri; ini lihat, anakku nilainya bagus, anakku sekolah di sekolah bagus, dia berprestasi, dan sebagainya. Tidak sedikit orang tua dengan dalih mengasihi anak, tidak pernah duduk bersama anak-anak mereka. Demikian pula pasangan, maupun anak-anak, tidak mencoba menempatkan diri sebagai pasangan maupun sebagai anak-anak yang menunaikan tugas mereka dengan benar.
Keluarga sebagai kebun anggur, apakah itu sudah kita hidupi?