Hidup Yang Patut di Hadapan Allah
Kamus Besar Bahasa Indonesia online mengartikan kata ‘patut’ bisa diartikan juga dengan baik; layak; pantas; senonoh. Jika demikian, seorang yang patut adalah orang yang baik, yang layak, yang pantas, atau senonoh di hadapan Allah. Namun demikian, adakah orang yang benar-benar patut di hadapan Allah? Seorang teman memiliki rambut gondrong, kurus, berpenampilan seadanya, suka mengenakan kaos oblong, penampilannya tidak seperti orang kebanyakan yang dianggap patut/layak. Suatu ketika, teman saya ini naik kendaraan umum (angkot), pada saat dia duduk ada penumpang lain (seorang perempuan) yang duduk juga di dalam angkot tersebut. Saat teman saya ini masuk ke angkot, perempuan ini menjadi gusar, dia gelisah, seperti ada perasaan takut menyerangnya.
Apa yang dirasakan oleh perempuan ini dirasakan pula oleh teman saya. Di tengah perjalanan (belum sampai ke tujuannya) teman saya meminta supir angkot tersebut untuk menepikan mobilnya. Teman saya turun dan melanjutkan perjalanan ke rumahnya yang cukup jauh. Dalam hatinya, teman saya berkata, tidak apa saya turun yang penting ibu tadi (atau mungkin orang lain) merasa damai saat naik angkot. Dari cerita di atas, siapakah orang yang lebih patut dikatakan sebagai manusia yang berperikemanusiaan? Tentu teman saya tadi. Memang secara lahiriah dia terlihat tidak ‘patut’ sebagai manusia yang selayaknya, tapi hatinya dia lebih berperikemanusiaan. Mengingat tentang kepatutan yang Allah kehendaki, apa yang dilakukan Tuhan Yesus (menjadi manusia) adalah hal yang tidak patut, mengapa? Karena manusialah yang berdosa, mengapa Tuhan yang datang dan mengasihi manusia.
Dia adalah Tuhan, sepatutnya ada di TahtaNya yang Maha Kudus, bukan di dunia. Kemudian, kita juga mengetahui bahwa Tuhan Yesus menyediakan diri dibaptis oleh Yohanes. Baptisan Yohanes adalah baptisan pertobatan, apakah dosa Tuhan Yesus? Tidak ada! Namun, sekali lagi Tuhan Yesus menyediakan dirinya dibaptis agar ‘sepatutnya kehendak Allah tergenapi’ (Mat.3:15). Perenungan bagi kita, apakah kita tetap mau merasa tinggi hati di hadapan Allah dan sesama? Bukankah Allah yang Maha Tinggi sudah merendahkan diri? Marilah dalam minggu Epifani ini kita bersama meninggikan Dia dalam seluruh hidup kita.