Roh Kudus Memberi Hidup Baru Kepada Bumi

Hari raya Pentakosta bagi Gereja merupakan hari raya yang memiliki tiga rangkap makna, yakni:
1. Pengucapan syukur tahunan. Pemaknaan yang seperti ini merpakan kelanjulan dari hari raya Yahudi yakni pesta panen gandum di mana umat membawa buah / hasil panen sulung untuk dipersembahkan kepada Allah. Keluaran 34:22, Imamat 23:15-22, Bilangan 28:26-31, ulangan 16:9-17
2. Hari pencurahan Roh Kudus. Kisah Para Rasul 2:1-11
3. Hari lahir Gereja, sebab di hari Pentakosta, Gereja mula-mula di Yerusalem terbentuk. Kisah Para Rasul 2:41-47

Pada umumnya hari Pentakosta ini hanya berfokus pada pencurahan Roh Kudus, sementara umat memberikan respon dengan menyampaikan persembahan syukur tahunannya kepada gereja. Tercurahnya Roh Kudus bagi umat dan Persembahan syukur umat kepada Tuhan bukanlah dua hal yang terpisah. Keduanya adalah sebuah hubungan yang erat.
Kelahiran gereja diperingati, pencurahan Roh Kudus dihayati, persembahan disampaikan dengan penuh ucapan syukur. Namun persembahan yang dibawa tersebut sama sekali tidak bisa menggantikan karya yang telah dilakukan Tuhan bagi manusia. Dengan membawa hasil bumi/unduh-unduh, maka umat diajak untuk mengingat bahwa segala hal yang bisa dihasilkan oleh manusia pun adalah sebuah ‘hadiah’ dari Allah. Oleh karena itu, menyikapi bacaan Injil pada minggu ini, yaitu tentang damai sejahtera yang ditinggalkan oleh Allah bagi umat manusia, maka sudah selayaknya damai sejahtera itu juga bisa dirayakan oleh seluruh mahkluk hidup.

Perhatian kita seringkali hanya hal-hal yang benar-benar Nampak di hadapan kita. Kita persembahan dengan uang, kita membawa apa yang bisa kita bawa, kita melupakan bawah kita hidup karena alam di mana kita tinggal masih baik, udara yang kita hirup masih baik, tanah yang kita pijak masih mampu menghasilkan.
Dengan demikian, Pentakosta ini sudah selayaknya merupakan perayaan manusia Bersama seluruh alam ciptaan Tuhan yang masih terus menjaga untuk semuanya tetap dalam kondisi yang baik. Bumi kita sudah rusak, air kita banyak yang tercemar, udara sudah memanas, laut sudah sangat kotor, apakah kita hanya mau menjadi penonton untuk kerusakan tersebut? Ataukah kita mau turut menghambatnya sebagai respon kita atas kebaikan Tuhan?