Memelihara Kesatuan dalam Keluarga
Catatan Tahunan Komisi Nasional Perempuan pada tahun 2017 menjelaskan ada 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2017, yang terdiri dari 335.062 kasus bersumber pada data kasus/perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama, serta 13.384 kasus yang ditangani oleh 237 lembaga mitra pengadalayanan, tersebar di 34 Provinsi. Catatan tersebut belum termasuk dalam kekerasan psikis maupun fisik yang diterima oleh kaum laki-laki.
Nampaknya, memelihara persatuan di dalam keluarga bukanlah sebuah hal yang mudah. Demikian pula yang terjadi pada jaman Tuhan Yesus.
Di dalam perikop yang tertulis dalam Injil Markus 10:2-16, kita mengetahui ada seorang yang bertanya tentang boleh tidaknya perceraian. Pada jaman Musa, Musa 'melegalkan' perceraian. Mengapa hal itu sampai terjadi? Karena ketegaran hati/kekerasan hati orang- orang pada jaman itu yang tidak mau mendengar Firman Tuhan melalui Musa.
Orang-orang hanya mendengarkan isi hatinya sendiri, hati mereka mengeras untuk Sabda Allah. Pada jaman Tuhan Yesus pun hal itu masih terjadi. Bahkan pada jaman itu, orang-orang dengan mudah menceraikan istrinya hanya dengan memberikan surat cerai. Tidak ada keadilan, tidak ada kasih sayang lagi.
Tuhan Yesus mengatakan, Apa yang sudah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia' adalah sebuah usaha untuk melindungi setiap bagian dalam rumah tangga, dalam hal ini lebih condong pada kaum perempuan yang secara fisik lebih lemah dari laki- laki.
Bagaimana dengan kondisi sekarang? Seorang yang mau belajar melunakkan hati dan mendengar firman Tuhan tidak akan membiarkan emosinya menjadi 'nahkoda' atas hidup mereka. Namun mereka akan mendengarkan Firman Allah.
Dengan belajar untuk tidak menjadi tegar tengkuk, maka kita juga sedang menciptakan kesatuhan dan keutuhan di dalam keluarga.