Ini Aku, Utuslah Aku
Tuhan berkata: "Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku? " Maka sahutku: "Ini aku, utuslah aku!"(Yesaya 6:8).
Sebuah kalimat yang terkesan gampang dan begitu ringan diungkapkan oleh Yesaya di dalam penglihatannya. Demikian juga dengan PKJ 177, yang berjudul Aku Tuhan Semesta, kita juga bisa dan biasa menyanyikan bersama dengan apik dalam peribadatan kita. Pertanyaannya, apakah kita benar-benar mau untuk menjadi utusanNya? Apakah kita benar-benar berani untuk menjadi utusan- Nya?
Seorang anggota TNI, atau anggota POLRI sudah terbiasa melakukan segala yang diperintahkan oleh komandannya. Seorang prajurit sejati akan melakukan dengan segera dan sepenuh daya untuk bisa menyelesaikan tugas tersebut, bahkan ketika harus bertaruh nyawa. Bagaimana dengan ketaatan kita?
Tidak terlalu sulit bagi kita untuk mengatakan ‘ya, ok, baik,’ saat atasan kita menghendaki kita melakukan sesuatu. Mengapa hal itu terjadi? Karena kita tahu bahwa tidak mentaati perintah atasan, imbalan kita langsung kita dapatkan; di PHK, dipotong gaji, kredit pegawai menurun, tidak disukai atasan, dan sebagainya. Pertanyaan selanjutnya, Mengapa saat Tuhan mengutus kita untuk melakukan perintah-perintah-Nya, kita tidak memiliki kata sesederhana yang dikatakan kita kepada atasan-atasan kita? Apakah karena upah Tuhan adalah nanti (sesuai ungkapan; upahmu besar di Sorga)? Ataukah karena Tuhan tidak terlihat (yang kita lihat setiap hari adalah Alkitab yang tidak bisa marah)?
Bagaimanakah saat kita diberi pertanyaan, layakkah saat ini kita menikmati segala hal yang kita miliki dan kita pakai, padahal kita beribu dan berjuta kali berdosa padaNya?
Hidup kita adalah karunia-Nya, dan hanya bagiNyalah hidup kita. Marilah kita bergumul tentang jawaban kita pada panggilan Tuhan.
SECP.