Menanti Dengan Sukacita
Berbicara mengenai kedatangan Tuhan, fikiran kita seringkali terjebak pada ‘hari kiamat’ yang ‘menyeramkan’, yaitu tentang bagaimana orang- orang Kristen akan mengalami penderitaan, kerusakan alam, bencana alam, dan berbagai kengerian-kengerian yang lain.
Dasar pemikiran tersebut juga seringkali didengung-dengungkan supaya banyak orang bertobat. Jika demikian, bukankah berarti pertobatan yang dilakukan adalah pertobatan yang didasari karena ketakutan? Kita berbuat baik karena takut masuk neraka, berkata sopan karena takut neraka, melayani karena takut neraka, tidak selingkuh karena takut neraka, mentaati nasihat orang tua karena takut neraka, dan segala perbuatan baik lainnya dilandasi karena takut pada sebuah penghukuman.
Apakah bagi kita sebagai orang yang mempercayai dan beriman kepada Kristus, pelayanan, perbuatan baik, kata-kata kasih, doa, saat teduh, ibadah, dan berbagai aktifitas lainnya juga didasari / dimotifasi oleh ketakutan?
Jika iya...betapa menderitanya hidup kita!
Adakah seseorang yang mencintai, namun hidupnya dipenuhi dengan ketakutan, dengan kebohongan, dengan kepalsuan?
Jika kita sedang menanti seseorang yang kita cintai, bukankah penantian kita dipenuhi dengan gairah dan sukacita yang membara? Bukankah tidak ada ketakutan di sana? Bukankah kita akan berdandan sebaik mungkin? Bukankah kita akan memperlihatkan muka kita sesempurna mungkin? Bukankah kita akan membersihkan tempat tinggal kita sebaik mungkin? Bukankah kita akan mempersiapkan begitu banyak cerita tanpa ada yang ditutup-tutupi? Bukankah semuanya itu kita lakukan dengan penuh sukacita?
Jika Tuhan adalah sosok yang kita cintai dengan tulus, bukankah kita akan memberikan yang terbaik bagiNya?
Jika membicarakan hari Tuhan namun hati kita dipenuhi dengan ketakutan, maka kita perlu memeriksa jauh ke dalam hati kita, sudah tuluskah cinta kita padaNya?