Fenomena Bunuh Diri
Seminar “ Fenomena Bunuh Diri”
Menghargai Hidup dari Tuhan dengan Menolak Bunuh Diri
oleh : Ari Hardiyana
Masih dalam suasana Bulan Pendidikan Keluarga, pada tanggal 1 Oktober 2017 yang lalu Panitia Bulan Keluarga 2017 bersama Komisi Remaja dan Komisi Pemuda GKI Karawaci mengadakan seminar dengan topik “Fenomena Bunuh Diri”. Organisasi kesehatan dunia (WHO) mencatat, angka bunuh diri di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan. Dari berita yang kita dengar dan lihat di media masa dan televisi tidak jarang kita mendengar adanya kasus bunuh diri bahkan di usia remaja dan pemuda. Hal inilah yang mendorong panitia Bulan Keluarga 2017 GKI Karawaci untuk mengadakan seminar dengan topik “Bunuh Diri” bagi remaja dan pemuda supaya memperlengkapi remaja dan pemuda dalam menyikapi masalah yang dialami dalam hidupnya.
Seminar ini dibawakan oleh pembicara yang ahli di bidang psikologi dan konseling, Ev. Debby Melani, M.Th dan juga dilengkapi dengan tips yang aplikatif dari Sdr. Sih Ell Cahyadi, S.Si (Teol), calon pendeta GKI Karawaci. Sebelum seminar dimulai, kami makan siang bersama terlebih dahulu dan kemudian ice breaking oleh Ben (Korem) dan Yana (Kompak).
Pada sesi I, Ibu Debby Melani mengutip dari Ronny T. Wirasto, psikiater lulusan FK UGM, mengemukakan bahwa penyebab seseorang ingin mengakhiri hidupnya antara lain adanya gangguan masalah mental, permasalahan keluarga, penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang, sikap tidak menghormati agama (pengenalan yang salah akan Allah), serta hubungan sosial yang buruk. Masalah tersebut tentunya permasalahan yang sangat mungkin dialami oleh remaja saat ini. Perlu adanya pendampingan dan pengarahan yang benar untuk generasi muda supaya mereka dapat memiliki ketahanan yang kuat dalam menikmati proses di setiap tahap kehidupannya. Pemuda harus menanamkan pemikiran-pemikiran positif dalam dirinya agar memiliki daya juang yang tinggi dan tidak mudah putus asa ketika mengalami kesulitan.
Bunuh diri bukan merupakan suatu sikap yang tiba-tiba muncul dalam diri manusia. Tingkat stres yang tinggi, putus harapan, hingga tidak mengerti cara menolong dirinya sendiri adalah tahap awal dari depresi. Seseorang yang depresi akan merasa gagal dan merasa tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Jika tidak ditangani dengan baik dan tidak ada dukungan dari orang-orang terdekat, maka tidak menutup kemungkinan orang tersebut akan mencoba bunuh diri.
Sebagai pribadi yang Tuhan ajarkan untuk mengasihi sesama kita, kita pun seharusnya dapat peka terhadap pergumulan orang-orang di sekitar kita. Saat kita tahu bahwa orang lain mengalami pergumulan yang membuatnya depresi, kita bisa lebih mudah untuk hadir dan menjadi penolong baginya. Orang yang depresi cenderung berpikiran negatif terhadap dirinya sendiri, orang-orang di sekitarnya, bahkan masa depannya sendiri. Ada beberapa tanda yang dapat kita lihat dari orang yang mengalami depresi, diantaranya adalah:
- Kehilangan minat/hobi;
- Mengalami kesulitan mengambil keputusan;
- Kehilangan selera makan atau justru makan secara berlebihan;
- Merasa tidak berharga;
- Putus harapan, pesimis;
- Gangguan tidur (insomnia atau bahkan tidur sepanjang hari);
- Cemas, cenderung berpikiran negatif
- Mudah tersinggung.
Beberapa hal dapat menjadi faktor potensi terbentuknya depresi. Yang pertama adalah genetika. Faktor genetika turut menyumbang terbentuknya pribadi yang rentan terhadap stres, hidupnya dipengaruhi oleh suasana hati (moody), dan juga mudah cemas terhadap hal-hal yang akan atau sedang dihadapinya. Faktor yang kedua adalah pembentukan kepribadian. Perlakuan yang didapatkan dari keluarga sangatlah penting dalam membentuk kepribadian seseorang. Penolakan; pelecehan secara verbal, fisik, dan seksual; keluarga yang disfungsi; serta penanaman citra diri yang buruk yang dilakukan oleh keluarga dapat menjadi faktor pembentuk potensi depresi seseorang. Dan yang ketiga adalah pengaruh dari lingkungan. Hal ini bergantung pada penerimaan dalam pergaulan bahkan mungkin juga tekanan di tempat kerja.
Di era digital ini, media sosial juga dapat menimbulkan kecenderungan depresi bagi remaja dan pemuda. Ketika kita terbiasa untuk “checking”, kita juga harus terbiasa dengan media sosial yang justru kebanyak berisi kabar buruk. Terlalu banyak menerima kabar buruk dapat memberi dampak yang signifikan pada kesehatan mental. Contohnya saat pilkada DKI yang lalu, tak jarang orang justru menjadi emosi ketika membaca posting-an atau tautan dan orang lain. Melihat beranda media sosial yang berisi tentang kehebatan orang lain dapat membuat seseorang merasa iri. Bahkan ada juga orang yang menjadi depresi hanya karena hal sepele seperti jumlah “like” tidak sesuai harapan atau update teman lebih menarik. Remaja dan pemuda harus dibekali pengenalan diri yang baik dalam menghadapi tantangan ini.
Ketahanan seseorang dalam menghadapi permasalahan sangat mungkin untuk dilatih sejak dini. Contohnya adalah dengan melatih anak untuk berjuang dalam menyelesaikan tugas-tugasnya, bukan justru dengan mengurangi tugas dan tanggung jawabnya. Ajar anak untuk menerima kesulitan dan pergumulan yang sedang dialami. Tanamkan sikap yang saling mendukung dan mempercayai di dalam keluarga. Dan yang sangat penting adalah pengenalan yang benar akan Tuhan. Pengenalan akan Tuhan didapat dari relasi yang dimiliki antara keluarga, teman-teman, dan lingkungan. Ketika seseorang mengenal Tuhan, ia akan menghargai kesempatan hidup yang telah Tuhan berikan. Konsep yang benar tentang Tuhan juga sangat berpengaruh terhadap cara pandang hidup seseorang. Ajarkan bahwa Tuhan sanggup menggunakan segala situasi yang kita alami untuk membentuk pribadi kita, bukan karena Tuhan tidak peduli dan tidak mengasihi kita.
Pada akhirnya, remaja dan pemuda juga harus dapat hadir bagi orang-orang yang memiliki potensi kecenderungan bunuh diri. Ketika kita menemui orang-orang yang memiliki potensi kecenderungan bunuh diri, berusahalah untuk “hadir” dan berempati pada situasi hidup dan tekanan yang sedang dialaminya. Kita dapat hadir menjadi pendengar tanpa menggurui atau menghakimi supaya ia merasa nyaman dan diterima. Berilah pengharapan yang realistis di tengah keputusasaan yang dialaminya. Jika sudah mencapai tahap yang serius, mintalah bantuan pembimbing rohani, konselor, atau psikiater untuk mendampingi. Berhati-hatilah agar kita juga tidak terbawa perasaan hingga membuat kita ikut depresi karena empati yang berlebihan. Dan yang paling penting ajaklah ia berdoa dan mempercayakan hidupnya di dalam Tuhan. Bawalah juga dalam doa kita sebagai wujud kasih kita kepadanya. Ingatlah hukum kasih yang tertulis dalam Markus 12:30-31 “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukup yang lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.”
https://www.gki-karawaci.org/renungan/303-fenomena-bunuh-diri#sigFreeIdf6be4c1cff